Kamis, 30 Agustus 2018

Memviralkan Kebaikan




Sepanjang tahun 2017 pengguna internet di indonesia mencapai lebih dari 143 juta orang dari seluruh jumlah penduduk indonesia 262 juta jiwa. Artinya, lebih dari 50 persen jumlah penduduk indonesia menggunakan layanan internet (Hasil laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia [APJII] dari laman tekno.kompas.com). Dan ini menempatkan indonesia di urutan keenam dengan negara terbesar pengguna jasa internet di dunia di bawah China, Amerika, India, Brazil, dan Jepang (sumber kominfo.go.id)

Dari 143 juta pengguna internet tersebut, facebook menjadi primadonanya media sosial bagi penduduk negara maritim ini. Dilansir The Next Web (sumber: www.liputan6.com) tercatat per-April 2018 sebanyak 140 juta orang Indonesia memiliki akun facebook, ini mencatat Indonesia sebagai negara terbesar ketiga pengguna facebook di dunia di bawah India (270 juta) dan Amerika Serikat (240 juta).

Dari jumlah tersebut, maka tidak heran jika banyak postingan yang berasal dari negeri ini menjadi viral ke seluruh nusantara mapunun dunia. Sebut saja “telolet om telolet” yang sempat menjadi perbincangan dunia, bahkan DJ Snake, Marshmellow, CL, sampai Christiano Ronaldo, Lipsingnya Sinta dan Jojo menyanyikan lagu keong racun, Es Kepal Milo, Yusi Fadillah yang makan mangga diundang ke istana oleh presiden, dan banyak lainnya.

Di era digital ini, begitu mudahnya viral itu terjadi. Hal-hal yang dianggap unik, nyeleneh, dan konyol begitu cepat tersebar melalui dunia maya. Wajar dengan pengguna internet sebanyak setengah jumlah penduduk di Indonesia.

Namun, kita tidak merasakan manfaat yang berarti dari viralnya hal di atas sebab memang hal konyol saja yang dipertontonkan. Bagaimana jika yang kita viralkan adalah pesan kebaikan, pesan positif yang memberikan efek besar buat perubahan negeri ini ke arah yang lebih baik. Memang pesan kebaikan yang viral juga banyak, sebut saja taushiyah para ustadz yang banyak menyentuh kalbu kita. Namun secara jumlah hal ini jauh masih ketinggalan dengan viralnya kekonyolan yang ada.

Sudah banyak yang memperoleh kebaikan dari viralnya pesan kebaikan kemudian menemukan hidayah, hijrah, dan bertaubat. Bisa jadi melalui ketikan tangan kitalah perantara hidayah ke orang-orang diterima.

Demi Allah, apabila Allah memberikan hidayah kepada seorang laki-laki dengan perantaraan usahamu, maka hal itu lebih baik daripada engkau memiliki unta-unta merah. (Muttafaq ‘Alaih).

Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam menjelaskan hadits ini, “yang dimaksud dengan ‘humrun ni’am’ adalah ‘Unta merah’, dan ia adalah harta paling berharga bagi orang arab. Dan mereka seringkali menjadikannya sebagai perumpamaan bagi sesuatu yang sangat berharga dan tidak ada yang lebih berharga darinya. Dan telah kami jelaskan sebelumnya bahwa penyamaan antara balasan baik di akhirat dengan sesuatu yang berharga didunia hanyalah sebagai bentuk pendekatan kepada benak kita agar lebih mudah kita pahami. Sedangkan hakekat yang sebenarnya, maka setitik kenikmatan di akhirat yang kekal lebih baik dari dunia dan seisinya.”

Mari, mulai sekarang kita viralkan pesan kebaikan yang mampu memberi pengaruh positif bagi para pengguna internet di seluruh dunia. Jauhi kekonyolan dan kesia-siaan, sebab hal ini membuat kita menjadi manusia tidak produktif dan menjadi sampah dunia maya. Wallahu a’lam bish shawab

Sarianto Tamegawa

Sabtu, 17 Juni 2017

SANTUN

Siang itu di hari ahad, cukup terik cahaya matahari menyinari hingga peluhku pun tak kuasa bertahan di dalam tubuh. Meskipun demikian tetap kulanjutkan aktivitasku mengayunkan cangkul ke tanah di pojok halaman depan rumah. Lubang sampah yang lama sudah cukup penuh, maka terpaksa hari ini juga harus kubuat lubang yang baru sebagaimana permintaan Lelekku. Lelek itu adalah panggilan di keluarga kami untuk mengganti kata paman, walaupun sebenarnya menurutku itu singkatan dari kata Paklek. Untuk memudahkan penyebutan ya kami terbiasa saja dengan kata lek atau lelek.
(Setelah lulus Ibtida’iyah aku memutuskan untuk hijrah dari kampung halaman demi melanjutkan studi di bangku tsanawiyah. Hal ini mengharuskan aku untuk tinggal bersama Lek Man di sebuah tempat yang jauh lebih maju dari kampungku berasal. Meskipun tidak di perkotaan, tapi setidaknya di sini jalanannya sudah aspal dan tidak perlu pakai parabola untuk mendaftarkan siaran televisi swasta.)
Seketika aktivitas mencangkulku berhenti tatkala mendengar tegur sapa dari seorang gadis.
“Eh, Rian?”
“Loh Henni, ngapain?” Sapaku balik.
“Ini lagi silaturahim tempat guruku di sini. Rajin betul ya?” Kalimat terakhirnya membuatku grogi dan langsung kulanjutkan mencangkul.
“Ah, biasa aja!” Dia masih mengajakku bercerita sedangkan aku masih terus sambil melakukan aktivitas korek bumi dengan sebatang cangkul yang beberapa kali harus berhenti sejenak untuk memperbaiki mata cangkul yang sering locot (terlepas-lepas karena tidak kencang). Kemudian beberapa menir kemudian ia pun pamit pulang.
“ Ri!” Terdengar Lek Man memanggil dari dalam rumah.
“Nun, opo lek? (Apa lek)” Aku setengah teriak menyahut.
“Rene dilut! (kemari sebentar)” Aku pun berjalan menuju ruangan tempat Lek Man memanggil.
“Iku mau sopo? (itu tadi siapa)”
“Oh, kawan neng DKR Pramuka Air Batu (teman di DKR Pramuka Air Batu).”
“Kok rah sopan sih kue! (kok kamu gak sopan ya?)” Aku mengerutkan dahi pertanda tidak paham dengan perkataan beliau. Kemudian beliau melanjutkan.
“Nek kita sek kerjo terus eneng tamu opo kawan yo disambutlah. Kon masuk. Kerjananmu mandekke sek. Wong jowo kok rah nduwe toto kromo! (Kalau kita masih mengerjakan sesuatu kemudian ada tamu atau teman yang datang baiknya disambut. Persilahkan masuk. Hentikan pekerjaanmu sejenak. Orang jawa kok gak tau sopan santun)”. Jleb, tubuhku serasa mendesir seolah menjadi dingin dari ujung kaki hingga kepala. Jujur saja tidak pernah kepikiran akan hal itu. Menurutku hal yang biasa tetapi kenyataannya salah kaprah di mata beliau.
Begitulah Lek Man. Beliau sangat menjaga tata krama sopan santun yang diajarkan oleh mbah dan mbok dulu (mbah sebutan untuk kakek dan mbok sebutan kami kepada nenek). Bahkan suatu kali aku pernah bertemu mertua beliau sambil menanyakan sesuatu. Kira-kira begini percakapannya.
“Lelek eneng? (Lelek ada)” Sambil tersenyum.
“Eneng, neng jero (ada di dalam).”
Aku pun masuk dans sesampainya di dalam aku dinasihati lagi.
“Nek takon karo wong tuo iku ojo nguno, rah sopan. Lembutno nadamu, alonke suaramu! ‘Lelek eneng mbah?’ Ojo buru-buru nguno (Kalau tanya kepada orang tua jangan begitu, gak sopan. Lembutkan nadamu, pelankan suaramu. ‘Lelek ada, mbah?’ Jangan terburu-buru)!” Subhanallah, batinku. Tentu dalam hal ini aku tidak sama sekali menyalahkan Lek Man, bahkan aku sangat berterima kasih karena diajarkan bagaimana layaknya sopan santun itu.
Di era digital ini kita sangat sulit memperoleh ilmu sopan santun itu. Padahal islam mengajarkan akan pentingnya adab ataupun sopan santun. Bahkan Imam Malik berpesan, “Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!” Tentu hal ini sepatutnya menjadi cambukan keras bagi kita yang sering menyepelekan guru apalagi ulama.
Aku jadi teringat, dulu kami di tahun 90-an -saat di bangku sekolah tentunya- akan mencoba bersembunyi atau menghindar sebisa mungkin ketika berpapasan dengan guru di luar hari-hari sekolah. Hal ini bukan menunjukkan kami takut, tentu tidak. Melainkan sebagai ungkapan betapa segan dan hormat dengan guru yang menjadi panutan kami. Kami takut jika kami ketemu, salah dalam bersikap dan bertatakrama. Aku tdak mau dan enggan membandingkan dengan sekarang karena aku yakin kita semua punya pengalaman masing-masing.
Sebagai generasi 90-an aku rindu dengan suasana kesantunan yang dulu.


Di ruangan tiga kali tiga, tersudut karena kenangan

Mbah Ya

Ayam berkokok bersahutan menandakan malam telah berlalu dan pagi telah datang. Hawa dingin menyeruak ke seluruh penjuru kampung masuk ke tiap-tiap celah rumah warga. Suara bedug membahana mengajak setiap manusia untuk membuka selumut dan kelopak mata agar segera bangkit menuju dapur mempersiapkan hidangan sahur di ramadhan ke-tiga ini. Mamak pun menyalakan televisi siaran guyonan sahur yang sama sekali tidak bermanfaat menurutku. Namun, suara televisi ini mampu memecah kesunyian di pagi hari menemani seluruh aktivitas mamak di dapur.
“Kresek.. kresek.. kresek.. fuh.. fuh..” Terdengar suara mikrofon yang sedang dites oleh pria paruh baya dari speaker pengeras di atas kubah masjid. Berulang-ulang sampai beliau yakin bahwa batang pelantangnya benar-benar terdengar ke semua rumah di desa.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga ya bapak ibuk? Sudah saatnya bangun ya? Kita siapkan sahur agar bisa kuat berpuasa, ya? Sahuuur... sahuuur...” Terdengar sangat keras sekali di telingaku dan aku pun terbangun untuk membantu mamak di dapur.
Kami memanggilnya Mbah Muji. Orang tua berumur 70an tahun yang hidup sebatang kara, semua anaknya merantau dan istrinya sudah tiga tahun yang lalu meninggal. Dengan sepeda antiknya, pagi-pagi buta menuju masjid untuk membangunkan sahur seluruh warga melalui pengeras suara di masjid. Biasanya beliau pukul dua dini hari sudah bergerak menuju masjid sampai ba’da shubuh baru pulang. Sampai hari ini tidak pernah kuselidiki kapan beliau makan sahur. Tidak hanya shubuh, seluruh waktu sholat selalu ia hadiri di awal waktu termasuk menjelang berbuka terkecuali saat sakit atau berhalangan.
Mungkin kesannya biasa saja, tetapi kami sebagai warga terkadang risih sendiri. Risihnya bukan disebabkan aktifnya beliau di masjid, melainkan kesukaannya beliau berbicara dengan mikrofon. Setiap ada hal apapun baik yang penting maupun yang tidak penting sama sekali selalu diungkapkan melalui batang pelantang tersebut.
Ketika akan masuk waktu shalat jum’at, hampir tiap menitnya akan segera diumumkan.
“Bapak-bapak waktu shalat jum’at sepuluh menit lagi ya! Segera bersiap dan menuju ke masjjid, ya!” Lima menit kemudian, enam menit kemudian, tujuh menit kemudian sampailah hingga sepuluh menit kemudian. “Tukang azan, mana tukang azan? Lekas ya!” Padahal saat itu aku tepat ada di belakangnya. Ya, aku, kang pran, dan lek jum digelari tukang azan oleh beliau.
Konyolnya, hingga pernah suatu ketika masuk sholat dzhuhur, dilihatnya belum nampak para tukang azan. Maka dengan sigap, diambilnya lah mikrofon.
“Ayo tukang azan, mana ini? Anaknya Senen, anaknya Kartino, mana ini, ya?” Wah nama bapak kami disebut-sebut. Sampai-sampai disahuti oleh Kang Supri, “Oalah, mbah... mbah... sekalian mbae! (mbae = kakeknya)” Kejadian seperti ini terus-menerus terjadi, sandal tertinggal atau hilang, wc masjid yang jorok, sisa-sisa tadarusan yang tidak dibersihkan, sapu dan sajadah yang tidak diletakkan pada tempatnya, bahkan ayam yang masuk ke masjid pun tak luput dari mikrofon.
“Ini ayam siapa ya yang sering masuk ke teras masjid, ya! Kok gak dijaga ya! Kotorannya itu najis loh, ya!” Begitulah seterusnya.
Pernah suatu ketika aku dimarahi oleh beliau yang kemudian membuatku tambah risih dengan Mbah Muji. Seperti biasa, yang selalu membersihkan sisa-sisa tadarusan adalah aku, kang Pran, Ril, dan Darvi. Kebetulan malam itu mati lampu dan hujan deras. Jadi kami agak kewalahan untuk ambil maupun antar makanan dan minuman untuk para pentadarus (kami sebut dengan jaburan). Ketika selesai tadarus, setelah kami rapikan hujan belum juga kunjung berhenti.
“Piye iki kang (Bagaimana ini bang)?” Tanyaku
“Yo wes, sesok wae pas shubuh kita terno gone wak Sabar (ya sudah, kita antar besok aja pas shubuh ke rumah wak Sabar)!” Jawab kang Pran. Kami pun langsung pulang ke rumah masing-masing.
Paginya menjelang shubuh, sebagai tukang azan setelah sahur aku hadir lebih awal untuk sekadar menyapu dan jika sempat tilawah sebentar sebelum shubuh. Kebetulan hujan sudah reda dan lampu sudah kembali nyala. Dalam perjalanan menuju masjid Mbah Muji kembali bermain dengan mikrofon.
“Tadi malam siapa yang narok lampu petromah di bawah ya? Ketabrak jadinya kan? Besok-besok jangan ditarok di tengah ya! Ini pun piring-piring, cangkir-cangkir masih di sini berserakan. Ya!” Celoteh Mbah Muji mengagetkanku dalam perjalanan, aku baru ingat ketika pulang tadi malam kami lupa mematikan lampu petromah. Langsung ku percepat langkah. Benar saja, begitu sampai di masjid langsung disemprot.
“Nek ndeleh lampu iku ojo neng tengah. Ketabrak jadine kan? Aku wes tuek, motoku wes kabur. Kepiye nya kalian iki? Ora dipikirke ndisek! (kalau meletakkan lampu itu jangan di tengah. Tertabrak jadinya kan? Aku sudah tua, mataku sudah rabun. Bagaimana kalian ini? Tidak dipikirkan terlebih dahulu!)” Aku langsung gerah, beliau mengulang-ulang terus kalimat demi kalimat itu. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali.
“Uweslah mbah, nggak entek-entek nek merepet terus! Kan tinggal geser wae! (Sudahlah mbah, tidak ada habisnya kalau diomongkan terus! Tinggal geser saja kan!)” Spontan mendengar jawabanku Mbah Muji tambah marah dan byarrrr..... panjang cerita dan ocehannya. Aku hanya berpikir, beginilah mungkin kalau sudah tua. Mudah tersinggung. Tidak biasanya kami lupa dengan kondisi masjid sebelum kami tinggal. Piring dan gelas pun berceceran padahal tadi malam sudah kami rapikan. Mungkin dibongkar kucing karena piringnya masih bau bekas makanan alias belum dicuci.
Begitulah sehari-harinya bulan ramadhan di desa kami. Selalu saja diperdengarkan suara Mbah Muji dari masjid. Setiap kata yang diucapkannya tak pernah lepas dari “ya”. Baik di awal maupun di akhir kalimat yang diucapkannya. Sehingga banyak dari kami yang menjulukinya “Mbah Ya”.
Sekarang Mbah Muji sudah tidak di kampung lagi. Terdengar kabar beliau sudah di Kalimantan dibawa oleh salah seorang anaknya karena kondisinya sudah semakin tua dan sakit-sakitan. Suasana Ramadhan saat ini sudah tidak berisik seperti dulu. Suasana ramadhan sudah lengang, tidak berisik, tidak ada kata “ya” lagi. Mungkin kami bisa saja kami senang dengan kondisi ini, tetapi malah sebaliknya. Kami merindukan sosok itu. Karena Mbah Muji telah berhasil memeriahkan puasa kami. Tanpa bayaran dan pujian beliau rela bersusah payah memikirkan bagaimana agar kondisi masjid tidak sepi selama ramadhan. Ramadhan kami jadi seperti biasa saja, bahkan terkadang sesekali masjid tampak kosong tanpa aktivitas sholat berjama’ah karena kesibukan dunianya yang tidak mau dikalahkan dengan ibadah jama’inya.

Semoga engkau sehat selalu Mbah Muji dan keikhlasanmu membuahkan kebaikan untuk dunia dan akhiratmu.

MATUGET

Mata kuliah Sistem Politik Indonesia ada tugas rabu ini, Teori Hukum Konstitusi juga rabu, Pendidikan HAM hari kamisnya juga tugas, belum lagi Antropologi Budaya. Ya Allah Robbi, begini rupanya jadi anak kuliahan tugasnya menumpuk tanpa memahami kondisi hati dan perasaanku. Huh, aku harus bisa meyakinkan hati ini bahwa ini bagian dari risiko yang harus diambil ketika Aku memutuskan untuk melanjutkan ke bangku kuliah. Lagipula tidak akan terselesaikan masalah hanya dengan banyak mengeluh.
Akupun langsung memutuskan untuk ke perpustakaan universitas mencari bahan yang relevan atas tugas-tugasku. Dengan langkah gontai penuh lelah ku himpun semangat untuk mengkonversi jenuh menjadi motivasi, mengubah rasa malas menjadi aksi, dan ku reduksi lelah bercampur penat, dengan perlahan ku provokasi gairah untuk meraih prestasi. Aku pun teringat dengan kata-kata Pak Wahyu dosen kami, “Cara belajar mahasiswa tentu berbeda dengan ketika kalian masih SMA, di sini kami hanya sedikit mengarahkan untuk kemudian kalian yang mengimprovisasi, baik dengan mencari referensi relevan maupun bertanya kepada orang yang memiliki kapasitas keilmuan di bidangnya. Jujur, ilmu yang saya dapat dulu ketika kuliah hanya dua puluh persen dari dosen, dan selebihnya dari keseriusan saya dalam belajar sendiri”. Mungkin inilah giliranku untuk meraih yang delapan puluh persen itu.
Langkah semakin kupercepat, menjadi penuh semangat, kugenggam jari-jariku rapat-rapat, dan di dalam hati berteriak hebat “Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar!!!”. Semakin yakin Aku bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan, Allah sendiri yang menjanjikan bahkan ayat tersebut sampai diulang dalam surah Al-Insyirah. Ini menandakan penegasan bahwa Allah ingin meyakinkan kepada hamba-Nya tentang hal itu. Sekarang fokusku pada semangat untuk menyelesaikan segala tugas yang ada dan hari ini semua harus tuntas meskipun ini masih hari selasa. Tiba-tiba bergetar handphoneku di saku. Aku sengaja handphone harus dalam mode silent selama berada di kampus. Aku memahami bahwa aku cukup leler, teledor, dan pelupa jadi sebagai jaga-jaga handphone selalu dalam mode silent. Terlihat di layar handphone nama Budi Komting, ya si budi komisaris di kelas kami. Kawan yang satu ini memang sangat care dengan dan sigap jika ada informasi terkait perkuliahan. Langsung saja kuangkat.
“Assalamualaikum, Hen!”
“Wa’alaikumussalam kom. Hah, apa cerita?”
“Cuma ngingetin nih, kau kan leler orangnya!” Ledek Budi.
“Udah gak usah jujur kali kau pak kom! Kenapa rupanya?” Seketika itu pula feelingku berubah, sepertinya ada sesuatu yang salah.
“Jangan lupa jam satu ada kuliah SPI trus jam tiganya THK!” tegasnya.
“Woy jangan ngelantur kau kom, itu kan mata kuliah besok hari rabu!” Bantahku.
“Huh, benar perkiraanku.” Desah Budi.
“Apanya yang benar?”
“Ini hari Rabu loh Davi Suhendra Sembiring! Gak inget kau, semalam tanggal merah kita memang libur gak kuliah.”
“Mati Aku kom, jadi tugas pun hari ini lah ya?”
“Ya pastinya! Ya udah kerjain dulu sana, mumpung masih jam sepuluh lewat nih! Mudah-mudahan sempat! Udah ya, nanti pulsaku habis. Assalamu’alaikum!” Budi langsung menutup tanpa mau mendengarku menjawab salam. Aku semakin cepat, semakin cepat, dan berlari secepat mungkin ke perpustakaan. Semua harus siap hari ini.
Alhamdulillah sampai juga di perpustakaan, setelah mengisi form buku pengunjung dan menyerahkan kartu perpustakaan langsung aku menuju ke ruangan penuh rak buku yang berjejer berbaris. Dengan cepat dan sigap kucari buku-buku relevan dan kutulistandai semua materi yang penting dan bisa dijadikan bahan makalah.
***
Waktu menunjukkan pukul dua belas pas, di saat yang sama pula semua bahan selesai hanya tinggal memindahkan dan mengetikkan saja ke laptop. Soal kemampuan mengetikku tidak bisa diragukan. Aku pernah menjuarai kompetisi mengetik saat SMA, kecepatan jari-jariku di papan keyboard melebihi kecepatan para pekerja rental komputer sekitaran kampus. InsyaAllah selesai hanya lima belas menit tiap makalah baik untuk mata kuliah SPI (Sistem Politik Indonesia) maupun THK (Teori Hukum Konstitusi). Maka tepat pukul setengah satu tinggal print out semua kemudian sholat Dzhuhur di Musholla fakultas dan langsung masuk kuliah. Jeng..jeng..jeng.. beres deh.
Langsung ku buka laptop dan menekan tombol power di sudut kiri atas papan keyboard. Tidak lama kemudian bercahayalah layar laptop dan meminta pasword. Penting untuk melengkapi laptop dengan pasword mengingat maling laptop merajalela sekarang ini. Teman-temanku saja sudah enam orang yang mengaku sudah kehilangan laptopnya. Ya meskipun pasword tidak mampu mencegah hilangnya laptop, paling tidak sedikit membuat kesal si maling dan data-data yang sifatnya pribadi tidak disalahgunakan karena harus diinstall ulang pastinya. Kumasukkan pasword “sembiringmilala” dan enter. Loh, gagal. Kuulang dengan kata yang sama dan gagal lagi. Coba pake underscore, gagal. Pakai capslock, gagal. “MasyaAllah, cobaan apa lagi ini?” gumamku. Oh iya, aku mengganti pasword tadi malam karena mendengar nasihat dari Arif, “Pasword laptop baiknya sering diganti secara berkala bang, untuk biar lebih aman!” Seketika itu pula langsung ku ikuti sarannya dengan mengganti pasword laptopku. Malangnya, Aku tidak ingat paswordnya apa.
Semua kata-kata yang familiar bagiku kumasukkan, tetapi hasilnya masih nihil. Ku SMS Arif dijawabnya kalau dia tidak tahu. Kulihat jam dan sudah lima belas menit berlalu dengan aktivitas pencarianku. Namun, Aku tidak menyerah masih terus mencoba hingga ku restart juga berkali-kali siapa tahu bisa mengingatkanku atau setidaknya memberikan clue tetapi masih saja gagal.
Sudah tidak ada pilihan lain kecuali harus ke rental komputer dan mengerjakan di sana. Namun, sudah dapat dipastikan itu tidak akan sempat. Lagipula tidak diijinkan membawa buku lebih dari dua ke luar perpustakaan ini sementara ada delapan buku yang harus ku bawa. Aku pun mencari cara dan sungguh sangat tidak terduga, pertolongan Allah datang. Ku lihat Ersal kawan sekelas tampak lima puluh meter di hadapanku, tetapi dia tidak menyadarinya.
“Sal, bawa laptop?” Sergahku.
“Bawak napa?”
“Minjem ya, tolong? Tugasku belum siap ini, nah tiga puluh lima menit lagi dikumpul.”
“Eh, belum siap kau? Pasti lupa ya kan?”
“Udah, itu gak penting cepatlah tolong ambilkan!”
“Iya, iya tunggu!” Ersal langsung keluar ruangan menuju loker di lantai bawah yang dijaga oleh dua petugas security. Wajar saja, loker adalah sasaran empuk para maling. Beberapa menit kemudian Ersal datang dan menyodorkan laptopnya, maka jari-jariku pun langsung beraksi. Tak.. tak.. tak.. suara keyboard yang terjamah jari-jariku.
“Itu laptopmu ada Hen!” Sambil mengacungkan bibirnya ke arah laptop yang tertutup dengan pasword terlupa itu.
“Tolonglah sal, diam dulu muncungmu! Kusiapkan ini nanti kujelaskan semuanya.” Tegasku pada Ersal yang seharusnya tak layak kucapkan itu karena hari ini dia malaikat penolongku. Namun, untung saja dia paham dengan kondisiku. Kulanjutkan pengetikanku dan luar biasa, hanya sepuluh menit tugas pertama selesai. Badas!!! Mungkin inilah yang disebut dengan the power of kepepet teorinya Jaya Setiabudi. Lanjut dengan tugas kedua tak.. tak.. tak.. kemudian nyeletuk lagi Ersal.
“Udah Adzan Dzhuhur Hen, kau bawak ya nanti di kelas Aku duluan ke musholla. Oh iya, sebenarnya kalau kau mau ada tu tugasku di laptop. Kau edit aja dikit-dikit kan lebih cepat siap!”
“Kau kalau mau pigi ya pigi aja sana, jangan pengaruhi Aku dengan cara licik itu! Go..go..go.. hurry up go!” Teriakku layaknya tentara di film-film hollywood.
Adzan sudah berkumandang, terdengar jelas di telingaku karena memang corong speaker masjid kampus cukup banyak dan besar untuk menjangkau seluruh sudut fakultas. Hanya dua fakultas yang tidak mungkin terdengar di terik siang seperti ini yakni Fakultas Teknik dan Fakultas Bahasa dan Seni yang memang letaknya di ujung pintu gerbang satu. Aku hanya berdoa dalam hati dengan tetap sambil mengetik, ampuni Aku ya Allah yang harus melewatkan sholat Dzhuhur berjama’ah karena tugas ini. Kenapa ya Aku bisa seleler ini.
Lima belas menit berlalu dan tuntas sudah tugas kedua. Langsung berlari menuju lantai bawah perpustakaan untuk print out dan menjilid. Selesai Alhamdulillah. Waktu menunjukkan pukul satu tepat, aku menuju kelas untuk menitipkan tugas ke Budi dan kemudian izin ke musholla untuk menunaikan shalat Dzhuhur di musholla fakultas.
Penat dan beratnya aktivitas hari ini luntur seiring guyuran air keran yang menyentuh indera tubuh ini mulai dari telapak tangan, seluruh permukaan wajah, lengan, kulit rambut, telinga, sampai kaki. Kesejukan ini terasa benar-benar mampu menyegarkan raga dan hatiku. Subhanallah, inilah keajaiban wudhu. Kemudian langsung kulanjutkan dengan aktivitas ruhani, sarana komunikasi langsung antara makhluk hina dhaif penuh dosa kepada Sang Maha Sempurna. Shalat.
Selesai shalat aku langsung kembali menuju kelas. Sembari melangkahkan kaki teringat si pasword laptop, “KEMANA DICARI” pakai capslock. MasyaAllah, padahal dua kata itu terus terngiang di otakku ketika kebingungan dengan pasword tadi. Ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Mungkin ini cara Allah menegurku agar tidak terus-terusan teledor dan leler.
Sampailah aku di kelas untuk kuliah. Ruangan 36.15. Namun Anehhnya, kok sepi? Padahal beberapa menit yang lalu masih ramai di sini. Aku pun kembali melihat jadwal perkuliahan siapa tahu salah ruangan, dan tertulis di sana 36.15 artinya tidak salah. Aku berkeliling fakultas, mungkin ada perubahan kelas. Pindah kelas adalah hal yang lumrah terjadi di jurusan kami, bisa jadi karena tiba-tiba pindah ke ruangan multimedia atau karena ruangan dipakai dan alasan lain sebagainya. Namun, aku tidak menemukan teman-temanku di kelas manapun dan anehnya fakultas jadi sepi. Apa yang sebenarnya terjadi. Aku bingung setengah mati. Handphoneku kembali bergetar, Budi Komting.
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumussalam, eh di mana kelas kita?” Ku tembak langsung.
“Kelas apa?” Tanya Budi heran.
“Loh bukannya kita ada kuliah siang ini? SPI sama THK!”
“Itu kan mata kuliah hari rabu Hen, ini hari selasa!”
“Yang bener donk, Kom!”
“Hehehe, iya becanda Hen. Tadi Bu Kajur ngasih tau kalau siang ini semua perkuliahan dikansel karena fakultas kita dipakai oleh mahasiswa pascasarjana.”
“Jadi?” tanyaku.
“Jadi, ya SPI dan THK dikansel juga.”
“Trus tugas gimana?”
“Tugas dikumpulnya rabu depan jadinya.” Kakiku mendadak lemah lunglai tak kuasa menahan berat tubuh yang cuma enam puluh kilogram ini. Pertanda apa ini sebenarnya.
“Hendra, hendra, masih di sana kan kau?”
“Ho’oh!” Jawabku tak bersemangat.
“Jangan lupa sore ini ya?”
“Lupa apa?” Jawabku datar.
“Hutang, katanya kan mau kau bayar sore ini. Kutunggu di masjid kampus.”
“Apa iya ada janjiku?”
“Dasar Matuget!”
“Apa lagi itu, Kom?
“Mahasiswa Tukang Forget!” Nyesek.

Di atas Sepatu Tua Usang ini

Di atas sepatu tua usang ini,
Berdiri seorang manusia tua,
Renta tubuh dimakan usia,
Dengan perjuangan tanpa surut membara.

Di atas sepatu tua usang ini,
Telah kau hamparkan jalan hidup,
Kau datangi segala pintu rezeki yang bisa diraup,
Dengan keyakinan tanpa pernah redup.

Di atas sepatu tua usang ini,
Sepasang kaki gontai mengayuh sepeda tua,
Perlahan nan pasti demi sebuah usaha,
Memperluas ilmu dan mengajarkannya.

Pernah kulihat di atas sepatu tua usang ini,
Kau berhenti dengan tangis rintih yang tidak tertahan lagi,
Seperti menyesali sesuatu yang tidak ku mengerti,
Berguncang badan, mengisak, hingga tak sanggup berdiri lagi.

Di atas sepatu tua usang ini,
Telah berdiri sosok manusia paruh baya dengan beban tak terkira,
Tidak terbagi dengan siapa jua karena kau sebatang kara,
Perih hidup hanya kau bagi pada Sang Pemilik Jiwa.

Di atas sepatu tua usang ini,
Tersimpul wajah senyum ceria lagi ramah,
Berat bebanmu kau simpan saja di rumah,
Agar tetap terjuluk engkau si guru berramah wajah.

Di atas sepatu tua usang ini,
Hanya iba yang aku rasakan ketika kau berdiri di depan,
Suaramu sudah tidak didengar dan diindahkan,
Siswa-siswa berakhlak bodoh selalu menyepelekan.

Di atas sepatu tua usang ini,
Apakah kau lupa bahwa kau tidak lagi muda,
Setiap kalimatmu hanya dianggap radio rusak saja,
Mengapa tidak beristirahat di rumah saja segera.

Sepatu tua usang ini,
Sepertinya kini sudah saatnya pensiun,
Kutemukan tergeletak tanpa si sosok santun,

Pengayuh sepeda tua yang mendekati masa pikun.